Kamis, 23 Agustus 2012

[Cerita Bersambung] Kisah Venisia: Biar Cinta yang Membimbing Waktu


                
Dan kini aku mengerti, mengapa tuhan menciptakan rasa yang sulit dilukiskan ini. Ya, karena tuhan ingin membuktikan dan menunjukkan padaku, bahwa tak ada satu pun hal yang percuma. Dan aku yakin dengan perasaanku, meski aku tahu diriku tak pantas untuk itu...

Kesialannnya tadi pagi masih saja menyisihkan kedongkolan di hati Veni. Sejak saat itu, ia jadi muak tiap kali melihat kumis Pak Thomas yang setebal hutan hujan kalimantan itu muncul. Bagaimana tidak, pagi-pagi ia sudah dihujani bebagai macam omelan yang membuat telinganya merah. Tetapi, meski begitu, secara tak langsung, ada sesuatu yang membuatnya sangat bahagia. Kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah singgah. Veni bahagia, sangat bahagia, karena bisa melihat lebih dekat seorang senior yang ternyata sangat manis. Ya, Kak Varis.
                Veni sungguh baru manyadari hal yang sangat fatal. Ia benar baru menyadari ternyata ada saja pangeran yang hidup di jaman seperti ini, bahkan di sekolahnya!
                Entah apa yang mampu membuat Veni tersenyum seharian, tetapi, setiap kali wajah manis Varis berkelebat, kedua sudut bibirnya akan reflek terangkat. Rasanya menyejukkan namun hangat.
                Sepanjang pelajaran, tak ada satu pun kata yang terlontar dari tiap guru mampu diingatnya. Hanya ada nama Varis yang melayang di otak Veni. Selama beberapa bulan menuntut ilmu di sekolah yang semula ia anggap sangat membosankan, baru kali pertama ini, ia sungguh berani mengganti kesaksiannya. Veni akan mengganti paradigmanya tentang sekolah yang suram dan membosankan, karena sebaliknya, sekarang, harinya serasa amat berwarna, mengalahkan semerbaknya warna pelangi. Terlalu berwarna, hingga mungkin semua warna yang ada di bumi melebihi warna yang ada di dalam hari-harinya.
                Waktu kian melaju, begitu pula perasaan Veni yang kian lama kian tumbuh. Setiap tujuh hari dalam seminggu, tak ada satu hari pun yang terlewat dengan kehampaan. Diam-diam ia memandang Varis yang tengah melaksanakan pelajaran olahraga. Betapa kerennya Varis ketika mendreebel bola basket, dan betapa tangkasnya Varis dalam menendang bola sepak, terlebih, ketika peluh bercucuran di kening Varis. Ingin sekali Veni bisa menyeka peluh itu dengan sapu tangan, Oh! Dunia pasti sangat indah bila ia bisa melakukannya. Veni suka semua hal tentang Varis, bahkan ketika wajah Varis membentuk ekspresi aneh keika sedang dimarahi guru. Namun, ada beberapa hal yang membuat Veni sangsi, yaitu kenakalan Varis, ia terlalu berandal untuk ukuran Veni.
                “Masa sih Varis ngerokok?”
                Beribu kali Veni meyakinkan diri. Berjuta kali ia meyakinkan bahwa Varis bukan lelaki yang seperti itu, ia hanya keras kepala dan tak mau diatur. Namun, kenyataannya Varis memang anak yang nakal.
                “Hah?! Dia juga pernah minum?!” reaksi Veni selalu sama ketika mendengar kabar mengagetkan dari Mirna, teman sekelasnya yang hobi gosip.
                “Masa Varis seberandal itu? MASA VARIS SEBADUNG ITU??”
                Veni terus diliputi perasaan bingung. Salahkah ia menyukai orang macam Varis?
                ^^^
               Siang beranjak sore kali ini, Veni dan Kayla kebagian tugas piket mingguan. Mau tak mau, mereka harus pulang telat.
                “Ven, tolong ambilin sapu yang ada di gudang sekolah dong. Sapunya nggak ada nih, kita mau nyapu pakai apa?”
                “Kok aku? Sekolah udah sepi banget. Gudang kan serem. Kamu aja deh, biar aku yang hapus papan tulis. Hehe, boleh ya?”
                “Ven, kakak kelas kan ada pelajaran tambahan, jadi sekolah nggak seberapa sepi. Gudang deket sama kelas senior. Udah gih, sana, buruan, kalau nggak aku laporin ke ketua kelas kalau kamu nggak ikut piket.”
                “Sekarang? Hari ini? Kakak kelas ada tambahan pelajaran? Bukannya Cuma pagi ya?”
                “Udah Venisia, cepetan!”
                “Oh, eh, iyahh, he-em, galak amat sih jadi orang. Tega banget, masa mau ngelempar temen pake penghapus papan seenaknya. Nanti aku item semua.”
                “Veniii!!”
                “Iyaaaa,” Veni berlari terbirit-birit menjauhi gebukan Kayla.
                Venisia bejalan menyusuri koridor sekolah yang agak remang. Dengan sigap berjalan dengan langkah yang dipercepat. Begitu beberapa meter dari kelas senior, gendang telinganya menangkap suara Pak Thomas yang menggelegar itu.
                Veni menoleh melihat suasana kelas yang tengah diajar Pak Thomas. Ya, kelas Varis tentunya, sudah pasti pangeran itu ada di dalam dan terkantuk-kantuk mendengarkan. Ketika Veni melewati pintu dan menolehkan kepalanya, seketika itu, ternyata Pak Thomas dan beberapa siswa sedang mengarah pandang ke arah pintu yang terbuka, tepat ketika Veni lewat.
                Veni melotot dan hanya tersenyum samar.”Siang, Pak,” sapanya menunduk.
                “Siang, eh, kamu... Kenapa belum pulang? Sekarang sudah jam berapa, hah? Kamu pacaran ya? Heh! Jangan lari!”
                Senyum Veni yang semula merekah berubah. Ia menggigit bagian bawah bibirnya dan segera berlari secepat yang ia bisa. Itu semua terjadi begitu cepat dan reflek. Veni lupa, bahwa Pak Thomas benci siswa yang masih berkeliaran di sekitar sekolah ketika jam sudah usai. Dan dia adalah orangnya!
                “Dasar anak sekarang, kerjanya pacaran. Jangan tiru itu,” Ujar Pak Thomas. Beliau kembali melanjutkan pelajaran tanpa merasa bersalah. Karena sesungguhnya, Veni sama sekali tak melakukan hal yang sudah dituduhkan, justru pekerjaan mulia, yaitu, PIKET.
                Beberapa pasang mata melihat kepergian Veni. Termasuk Varis. Varis merasa pernah bertemu gadis berisi itu sebelumnya. Tapi di mana?
                “Hhhh.. tuh orang aneh banget. Sapa juga yang pacaran, orang mau piket kok malah dituduh yang nggak-nggak, awas aja tuh orang.. Hhhh,” Veni berhenti di depan gudang dengan napas memburu.
                “Janji aku nggak bakal lewat kelas itu, bisa-bisa kena omelan lagi.. Hhhh.”
                Akhirnya Veni mengambil jalan pintas dan melakukan piket bersama Kayla. Meski Kayla mengomelinya karena terlalu lama, mood Veni terlanjur buruk untuk dapat menjawab pertanyaan Kayla.
                “Ven, kamu kenapa sih? Tadi ketawa-ketiwi, sekarang mingkem terus? Kamu nggak kesambet setan lewat kan di gudang?” kata Kayla. Ia terus melontari Veni berbagai macam omelan dan pertanyaan, namun Veni tetap bungkam.
                “Iiihh, serem, jangan-jangan Veni kerasukan. Haduh, tahu gini mending aku aja yang ambil sapu.” -_-
^^^



Varis Looks Like


0 komentar:

Posting Komentar

 

Template by Best Web Hosting