Rabu, 25 April 2012

Karena Mereka Ada

Aku percaya. Ya, tentu saja. Aku percaya bahwa dunia tak pernah mengabaikan ku. Bahwa dalam hidup ku yang singkat ini, aku masih memiliki banyak cinta. Cinta yang bahkan tak terhingga jumlahnya. Secarik jiwaku yang hampa, berangsur penuh akan kasih tulus mereka. Dan meski umur ku terlihat minim, dengan adanya mereka, aku merasa abadi selamanya.
Dikala aku berkata, tak mungkin, mereka menengadahkan kepalaku dan berujar, bahwa tak ada satu pun hal yang tak mungkin. Apabila aku berseru, sudah aku menyerah, mereka menarik lenganku, menggamit jemariku, dan menuntunku menuju sesuatu yang mereka anggap bahwa semuanya belum berakhir.
Terkadang, bahkan seringkali, aku merasa bahwa aku terhimpit dalam segala macam bentuk tekanan yang begitu berkecamuk. Tapi, ternyata, di tengah peliknya tekanan itu, ada mereka yang sesungguhnya memiliki lebih banyak masalah dibanding aku. Tentu, aku merasa sangat bersalah. Aku kurang peka. Aku egois, kata kejamnya. 

Aku berjanji, akan tetap mengejar mimpiku yang terlalu tinggi itu, berjanji pada diri sendiri dan orang lain. Mereka semualah yang akan menuntunku melangkah, meniti kehidupan yang selalu dan selalu ada aral yang bertandang. Aku bukan orang yang lemah dan tak berdaya, aku punya asa dan sejumput cinta, bahkan segala bentuk cinta, bukan hanya sejumput saja.  



Life is like riding bicycle. To keep your balance you must keep moving.

Sabtu, 21 April 2012

Pilu?

Pilu?

Semua memang terlambat, begitu terlambat, hingga aku baru menyadari perihnya seperti ini.
Semua yang kulakukan terasa begitu hampa dan tak berguna. semua senyum itu... sudah pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun padaku. meninggalkanku tersudut bersama sisi diriku yang hampir lenyap. aku.. bahkan tak pernah mengerti siapa aku ini dan untuk apa aku tetap berdiri disini. meski aku merintih, menangis tiada henti, tak akan pernah ada yang ingin menyeka bulir yang mengalir di sela pipiku. meski dunia ini hampir banjir, digenangi air mata pilu dariku, tak akan ada seorang pun yang kan menghentikan tangisku. 
Aku? siapa aku? orang yang hebat? Ahh..
Aku yang dulu? aku yang sekarang?
kali ini aku benar tersadar dari tidur panjang, bahwa sudah saatnya aku melangkah. meniti jalan baru yang terang benderang, dengan lebih dalam menatap ke depan dan bukan lagi ke belakang. aku tak butuh lagi senyum itu, yang aku butuh hanya tiupan semangat dari hatimu, walau tak dibibirmu, hanya di hatimu, aku sudah sangat kokoh, begitu kokoh dan terlalu kokoh untuk bisa tetap berdiri. 
meski semua ini terlambat, aku janji, aku akan menjadi diriku yang lebih berarti di matamu.dan di mata seluruh orang yang pernah memandangku sebelah mata. aku akan memberikanmu senyumku, meski kau tak pernah membalas senyum itu, jika aku kelak berevolusi menjadi orang yang kau mau. Tunggu aku. Tutup matamu, buka lebar pendengaranmu, maka kau akan mendengar teriakan semangat dalam hatiku yang bergejolak. Kau tahu, waktu pasti terus berjalan, begitu pula darahku yang akan terus mengalir. seiring dengan semua itu, kau akan tercengang mengenal diriku yang baru, meski dulu kau bahkan tak pernah tahu siapa aku dan untuk apa aku menngganggu harimu. Esok, aku akan bertandang ke hidupmu bukan sebagai pengganggu, tapi sebagai pelangi yang mengisi harimu...

Dont give up to face the day.. yeah,  although you dont know who am i, one day, you will be shock with MY NEW LIFE..  

^_^ aku tak pernah menyesal kau pernah datang di hidupku, karena sesungguhnya semua itu membuatku tersadar bahwa hidup itu terlalu berharga untuk diratapi.. Thank you and I am sorry..

Rabu, 11 April 2012

Bila kita jadi mereka, kuatkah kita?

Bila kita sepertinya
Siang itu, sinar mentari yang terik menerpa tubuhku yang tengah bermandikan peluh. Aku melangkah lunglai menuju angkutan umum dan masuk ke dalam. Tatkala mataku berpencar mencari tempat duduk yang kosong, manik mata ini terpaku pada sosok wanita tua tak bertangan sebelah. Lebih tepatnya nenek tua yang amat lemah dan tak berdaya. Mataku membelalak. Aku pernah bertemu nenek ini, tapi dimana?
Aku mengambil duduk paling belakang, pojok dekat jendela. Nenek tersebut tengah terlelap dalam tidur. Gurat wajahnya terlihat kelelahan. Sesekali tubuh ringkih nan bungkuknya itu nyaris terjatuh tiap kali kendaraan melalui jalan bergelombang atau pun bila mengerem mendadak. Aku memperhatikan nenek itu dari ujung kaki hingga ujung kepala dan kembali lagi ke kaki. Nenek tersebut merengkuh benda dalam selendang birunya dengan amat erat meski dalam tidurnya. Hingga tanpa sengaja beliau terbangun dan mendesah dengan intonasi yang kurang jelas bagiku, karena ada seorang lelaki muda bersama ibunya yang duduk di sebelah sang nenek. Betapa tercengangnya aku melihat wajah nenek itu ketika menghadap ke arahku, matanya, kedua matanya hampir tak memiliki lensa. Maksudku, seperti manula lainnya, yang seringkali didera penyakit mata, katarak atau apalah itu, hingga sekilas nenek itu terlihat buta. Tapi, beliau tak buta.
Tak lama, nenek itu kembali terlelap. Kupandangi tubuhnya yang bungkuk, kulitnya keriput, kulihat jelas kerasnya kehidupan dalam setiap inci tubuhnya.
Oh, aku ingat... Nenek ini, adalah nenek yang beberapa bulan lalu aku temui. Ketika aku hendak berangkat ke sekolah menggunakan angkutan umum. Kala itu, nenek tersebut menjatuhkan uang recehannya untuk membayar angkutan umum. Aku yang kebetulan duduk di sampingnya menolong mengambilkan uang-uang tersebut. Ya, aku ingat. Ya tuhan,... aku juga ingat, nenek inilah yang kapan hari ditolak oleh beberapa sopir angkutan umum, karena dianggap tak mampu membayar. 
Aku menelan ludah. Namun rasanya kerongkongan ini terlalu kering untuk itu. Sekali lagi aku memandang tubuh kurus itu. Hingga kami berhenti di depan sebuah pasar, Pasar Larangan.
Sang sopir berujar keras. Sedikit mengagetkanku namun sangat amat mengagetkan nenek tua itu. "Mbah! Iki lho wes teko pasar. Ndang tangi!" begitu katanya. Artinya, nek, cepetan turun, ini sudah sampai pasar, cepat bangun.
Aku menatap sang sopir tak suka. Hei! lihat yang kau gertak adalah orang tua! Dimana sopan santunmu hah?!
"Oh nggih nak, nggih pasar," jawab sang nenek masih dengan terkaget-kaget. Karena masih terbawa suasan kaget, beliu buru-buru bangkit dengan mata setengah mengantuk. Beruntung ada seorang lelaki muda yang membantunya mengeluarkan barang bawaan sang nenek. Tetapi, ketika sang nenek hendak keluar, dan menapaki sebuah tangga menuju ke bawah, beliau terjatuh. Lantas aku berteriak kaget. "Ya Allah!"
Sang nenek segera bangkit dan keluar dengan cara duduk dan menyeret tubuhnya. Sungguh, dunia ini memang kejam. Apalagi, lelaki yang semula ingin membantu sang nenek dipanggil oleh ibunya, "Heh, nak, udah biarin aja wes. Biarin neneknya bawa sendiri barangnya. Ayo cepet masuk! Lapo kamu ngurusi wong iku?!"
Hatiku pecah berkeping-keping. Kini satu lagi orang yang merasa terganggu dengan kehadiran sang nenek, padahal anaknya hanya bermaksud membantu saja, hanya itu! 
"Iya Bu, sek, iki sakno mbahe," ujar sang lelaki muda,
Ya, setidaknya aku bersyukur masih ada yang berhati besar.
Sang nenek membuka selandang birunya untuk mengambil uang receh. Aku memang sempat mendengar suara recehan tatkala nenek itu bergerak, dan ternyata uang lah yang beliau bawa sedari tadi. Uang pecahan ratusan yang selama ini selalu kubuang dan kuhamburkan begitu saja.
Sejujurnya aku ingin mambantu sang nenek, walau sekadar memberi uang. Namun waktu memang tak memungkinkan. Ya, aku hanya bisa memberi beliau doa,
Angkutan umum pun kembali melaju. Meski begitu hati ini tergugah untuk tetap mengamati sang nenek. Kulihat beliau berjalan terseok menuju ke dalam pasar. Tanpa sengaja, air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku tak tahu apa yang membuatku ingin menangis. Mungkin hati ini merasa teriris tiap kali melihat bagaimana egoisnya manusia. Mereka memandang lemah dan sebelah mata para manusia seperti nenek tadi. Oh tuhan, apa takdir memang sekejam ini? Mengapa harus ada manusia yang lemah dan yang kuat, mengapa harus ada si kaya dan si miskin? Aku tahu, ini memang suatu suratan, tapi, tak adil bila harus seperti ini. Nenek tua seperti nenek yang kutemui sudah tak layak bekerja tiap hari di pasar. Kalau saja ku bisa pasti sudah kuberi beliau tempat tinggal dan uang. 
Sungguh aku sangat terenyuh, akan kegigihannya beliau, karena belum tentu pabila aku ada di posisi beliau, aku mampu melalui semuanya dengan tawa.
Tapi, hari ini, satu lagi pelajaran yang bisa kuambil, yaitu, aku akan selalu berusaha untuk menghargai orang yang lebih tua, karena kelak kita juga akan tua. Dan aku juga belajar bersyukur, bersyukur karena memiliki keluarga dan tak sebatang kara. juga bersyukur karena aku masih memiliki kedua tanganku. Ya mulai detik ini, aku akan berusaha jadi orang yang lebih bersyukur!
 

Template by Best Web Hosting