Kamis, 28 Agustus 2014

Minyak dan Air

        Lagi. Seminggu tanpa satu hari pun hari libur. Minggu tak lagi jadi waktu hibernasi atau lari dari sanderaan deretan angka. Bukan aku membencinya. Hanya sedikit mengeluh tentang keadaan yang melelahkan.

        Kepalaku sudah nyaris pecah ketika guru Kimia menjelaskan tentang alasan mengapa minyak dan air tak pernah bisa menjadi satu. Ya, aku tahu. Bukan lagi hal tabu mendengar kisah tentang minyak dan air yang tak menyatu. Aku terpaku begitu sang guru melanjutkan penjelasan.

        "Tapi ada cara membuat minyak dan air bersatu."

        Dahiku berkerut. Memikirkan alasan apa yang mungkin terlontar.

        "Minyak dan air bisa menyatu jika mereka bercambur bersama sabun."

        Ingatanku selalu melayang jauh ketika memikirkan perbedaan. Ketika mengingat akan perdebatan.

        "Ya beda. Yang bener bla bla bla..."
        Pikiranku kembali mengingat perdebatan singkat antara aku dan kamu. Akhirnya, kamulah yang mengaku salah waktu itu.

        Aku merenung sejenak. Mengingat kembali potongan kisah yang lainnya.

        Beberapa waktu yang lalu aku tengah menikmati serial drama Korea dan mengabaikan pesanmu. Kemudian aku mengatakan bahwa aku terlalu menikmati serialnya hingga lupa tentang kamu.
        Kamu berceloteh tentang negeri itu. Menganggap siapa pun yang addict dengan pria pria Korea merupakan hal yang tak lazim. Orang-orang yang freak.
        Tapi... Aku berpikir kembali. Hendak balas berceloteh tentang ke addict an mu akan dunia Taekwondo atau seni olahraga lain. Aku hanya diam, berpikir bahwa itu hakmu. Dan aku sudah merenggut HAM jika saja aku berceloteh juga.

        Tak lama, sang ketua kelas mengerjakan sebuah soal kimia tentang Senyawa Siklik dan Alisiklik. Berusaha menyusun rantai-rantainya sesuai nama.

        Aku tersenyum samar. Hanya berpikir tentang arus berpikir lelaki. Di kelas ini, ada 12 siswa laki-laki. Dan masing-masing memiliki pola pikir yang berbeda.
        Ada yang terlalu tegas hingga siapa saja yang menatapnya akan diam tak bersuara, namun, jiwanya selembut kapas. Ada pula yang lamban namun punya pemikiran ke depan.

        Aku menghela napas dalam. Masih mengamati sosok yang tengah mengerjakan soal kimia di depan.
        Ia watak yang keras. Tidak bisa berkata lembut terhadap wanita. Berbeda dengan sosok yang tengah berkutat dengan telephone genggamnya di belakangku, ia selalu menjaga lisannya terhadap wanita. Baginya, membuat wanita sakit hati adalah sebuah dosa yang besar.

        Aku memijat keningku yang mulai sakit.

        Sang ketua kelas. Seringkali aku dengar kata-kata kotor terlontar dari bibirnya. Aku terdiam. Hanya bersedih karena dengan mudahnya ia mengumpat di depan wanita.

        Aku menyebut nama teman yang duduk di belakangku. Ia tak menoleh, terlalu sibuk dengan buku tulisnya.

        Kusebut namanya lagi. Kemudian ia mengangkat kepalanya. "Ya, kenapa?"

        "Kamu sibuk?"

        Ia kemudian menggeleng. "Kenapa emang?" tanyanya. "Nggak sibuk. Cuma nyatet aja. Kenapa?"

        Aku hanya tersenyum samar. Berpikir, bahwa aku membenci kata-kata kasar. Setidaknya aku berteman dengan orang yang sabar seperti dia. Aku dapat merasakan apa yang sahabatku katakan tentang teman lelakinya yang seenaknya membentak atau mengumpat. Sedih. Ya, aku akui.

        "Nggak. Nggak jadi." jawabku. Temanku hanya tersenyum kemudian kembali berkutat dengan buku tulisnya.

        "Oke. Bener!" seru guru Kimia, membuat lamunanku buyar seketika.

        Tak lama bel pun berbunyi.

        Sudah terbayang di benakku betapa nyamannya bantal dan kasur nanti.
        Aku berdecak seraya menaruh kepala di atas meja. Memikirkan bahwa aku tak akan bisa melakukannya. Aku masih harus mampu terjaga hingga pukul satu. Untuk menjaga perasaanmu.

        Sepulang sekolah, setelah mengerjakan sebuah tugas, aku berjalan menuju depan sekolah. Kepalaku semakin berat. Sampai akhirnya aku tiba di rumah.

        "Kamu kok jadi nggak fokus?" Ayahku tiba-tiba bertanya. Menatap wajah lusuhku yang sudah lelah.
        "Aku nggak kenapa-napa, kok."

        Seperti biasa, aku masuk ke kamar dan mulai membuka laptopku. Waktu berseru padaku, mengatakan waktu menunjukkan pukul delapan malam. Sebuah pesan bertandang dari kamu. Dengan tubuh yang serasa seperti kayu, aku membalas pesan dengan perlahan.
        Batuk melanda leherku. Namun, deretan angka nampak meronta memintaku menyentuhnya. Mengisi titik titik yang berjajar dengan benar. Kepalaku kian berdengung ketika kulihat layar laptop berpendar menampakkan naskah-naskahku yang terbengkalai lama. Tapi, ada hal yang jauh lebih penting untuk dilakukan. Yaitu, menjaga perasaanmu.

        Karena aku ingin minyak dan air menyatu dalam perbedaan. Kesetiaan dan saling pengertian yang akan menjadi pengemulsi. Seperti sabun yang menghapuskan kata 'beda' antara minyak dan air.

        Antara kamu dan aku.

-28-



0 komentar:

Posting Komentar

 

Template by Best Web Hosting